i think...

Selasa, 10 Juli 2012

More or Less ? Less Is more




 Belakangan ini kosakata sehari-hari di dunia pergaulan bertambah, salah satunya ya kepo. Jujur saya penasaran kenapa kata kepo ini menjadi semakin fenomenal setiap harinya.  Ditambah lagi, kepo sudah masuk ke dalam kebiasaan baru  untuk sebagian besar orang saat ini.Meskipun saya tidak terlalu paham arti kata kepo secara harfiah  serta latar belakang sejarahnya, tetapi saya paham dengan makna terselubung di dalamnya.  Bahkan saya pun tidak akan mengelak jika saya juga mendapat gelar si kepo  karena memiliki kecenderungan yang selalu ingin tahu. Apapun itu. 


Rupanya kata kepo konon menurut http://kitabgaul.com/word/kepo  berasal dari bahasa hokkian. Terdiri dari dua kata yang digabungkan, ke artinya bertanya dan po adalah sebutan untuk seorang nenek tua. Kepo bila diartikan secara harfiah adalah kebiasan banyak bertanya seperti halnya seorang nenek (mungkin). Lucunya lagi ada yang mengatakan bahwa kepo itu adalah singkatan dari Knowing Every Particular Object. Saya setuju dengan singkatan ini, karena jika sedang “mengupas” terkadang suka lupa waktu terutama ketika sedang ‘ngepoin” mereka-mereka  yang sedang beraksi memenangkan hati saya. 



Jauh sebelum kata kepo menjadi sangat populer, saya memang sudah terlahir sebagai anak yang selalu dilanda rasa haus keingin tahuan. Ingin tahu segala sesuatu, satu per satu. Mulai dari urusan pribadi hingga kehidupan penguin di Antartika bagi saya penting untuk diketahui. Bukan hanya sekedar tahu, tapi harus  tahu seluk-beluknya sampai detil. Akhirnya jadilah saya korban dari “dahaga” diri saya sendiri. Mata minus dan hidung beringus adalah sebagian dari efek samping  akibat begadang karena pikiran  yang penuh pertanyaan hingga memotivasi saya untuk terus mendeteksi sisi per sisi dari informasi yang saya peroleh.

Sekilas aksi ‘gerilya” ini tampak seperti tugas seorang detektif. Menggali-gali mencari kunci-kunci masalah dan dasar untuk menyusun strategi agar tidak dikelabuhi para musuh. Hal ini terjadi juga sejak saya remaja, ketika ada lekaki yang mendekati, aksi “ bergerilya” ini pun segera masuk dalam strategi. meskipun dulu era digital belum “berjaya” seperti saat ini, saya tetap berangkat dengan penuh teliti dan hati-hati menyeleksi orang-orang yang mendekati. Tak perlu lagi penjelasan panjang mengenai kemudahan proses seleksi pribadi –pribadi itu di era kini.

Bayangkan saja apabila dulu perlu waktu sekitar dua minggu untuk mengungkap fakta, sekarang 60 menit saja sudah kelebihan waktu untuk “memuaskan dahaga” penasaran saya. Beruntung salah satu teman terbaik juga memiliki “kemahiran” yang serupa. Akhirnya ‘ilmu’ ini pun semakin lengkap setiap bertukar pikiran dengannya. Tehnik-tehnik kepo saya makin solid dan tentunya informasi semakin padat berisi dari segala sisi.

Sekarang saya mengerti, kini rupanya tidak hanya saya dan teman saya yang hobi bergeriliya mencari  informasi  yang selanjutnya aksi ini disebut ‘dengan istilah “kepo”. Tak ada salahnya menjadi kepo asalkan tetap beraliran energi positif. Jangan menjadi resah apalagi sampai ikut membocorkan aib orang yang bukan tidak mungkin kita dapatkan after kepo-ing . Jadikan informasi  sebagai senjata sebelum berperang, tapi ingat, bila ingin menyelamatkan diri sendiri bukan berarti kita harus membunuh identitas orang-orang yang  lain. Pendeknya, kepo itu sah-sah aja asalkan tidak berlebihan jika kamu tidak mau jiwamu tergoncang dan tubuh meriang.  jangan lupa, “ less is more”