“Sebuah karya idealnya akan mewakili zamannya” -Christina T. Suprihatin-

Ada sebuah alasan tersendiri
mengapa saya
selalu terkesan dengan cerita-cerita yang berlatar negeri indah penuh keajaiban, kisah putri cantik yang
dipersunting pangeran tampan, binatang-binatang yang berbicara serta penjahat –penjahat
licik namun seketika sirna ditelan kebaikan. Sampai sekarang pun saya masih
sering berandai-andai hidup di negeri
antah berantah tersebut. Dongeng bagi saya adalah salah satu modul kehidupan
yang bernas karena di dalamnya terdapat pelajaran mengenai nilai moral, pentingnya perjuangan,
berharganya sebuah pengorbanan hingga kebiasaan-kebiasaan sehari-hari yang amat
sederhana seperti mencium orang tua sebelum pergi, makan bersama, berpakaian
rapi dan lain sebagainya. Hal yang tidak
kalah penting saya pelajari dari dongeng adalah harapan-harapan positif yang selalu tersisip di setiap ceritanya.
Sebagai perempuan penikmat
dongeng, kekaguman utama saya pun tertuju pada tokoh-tokoh perempuannya meski terkadang kelemahan kaum saya tersebut tetap terekspos. Sebagian besar dongeng yang dilisankan
maupun dituliskan pasti memiliki unsur cerita mengenai kecantikan yang
dikagumi seluruh negeri, kelembutan yang mendampingi kaum lelaki yang kuat dan keras, sosok keibuan
yang selalu mengalah sehingga dan pada akhirnya supremasi laki-laki terasa menindas potensi kaum perempuan. Pendek kata, perempuan diluar urusan rumah tangga seolah tidak diperhitungkan
keterlibatannya. Alih-alih untuk berperang, saat rapat untuk menata kerajaan saja ruang
rapatnya miskin dengan kehadiran perempuan.
Sebagai contoh, kisah Snow
White yang dipopulerkan oleh Grimms bersaudara (1812). Kedua bersaudara asal Jerman ini menceritakan
betapa sengsaranya Snow White yang teraniaya oleh ibu tiri karena sirik dengan kecantikannya. Snow White yang
cantik, baik dan masih polos akhirnya berhasil dikelabuhi agar memakan apel
beracun dan membuatnya mati suri. Tidak ada yang dapat dilakukan Snow White untuk
mengalahkan ibu tirinya, sampai akhirnya ciuman seorang pangeran menghapus
mantera sihir yang membuatnya terbaring di peti kaca. Bagaimana kekuasaan ratu
jahat itu tumbang juga tidak melibatkan campur tangan Snow White.
Kemudian 200 tahun berselang, kisah Snow White datang kembali dengan sentuhan yang
berbeda. Snow White and the Huntsman yang dibintangi
Kristen Stewart tidak hanya berkosentrasi pada kecantikan
kulitnya yang seputih salju, bibir semerah darah dan rambutnya yang sehitam bulu
gagak tetapi
juga keberanian dan kekuatan yang muncul untuk mengakhiri perlakuan
jahat ibu tirinya. Dalam film garapan Rupert
Sanders itu Snow
White bahkan memimpin pasukan perang untuk menumpas segala keangkuhan Ratu
jahat yang dimainkan oleh Charlize Theron meskipun dirinya sempat dibuat berhenti
bernafas karena memakan apel beracun yang legendaris tersebut.
Perubahan karakter tokoh utama si Putri Salju itu seketika mengantarkan saya kembali pada penjelasan dosen pembimbing skripsi saya yang mengatakan bahwa sebuah karya itu idealnya akan mewakili zamannya. Dengan demikian kedua kisah yang sama dari era yang berbeda itu memang tidak dapat disandingkan apalagi dibandingkan untuk dicari yang mana yang paling terbaik. Menurut saya pada jaman dahulu, peran perempuan memang tidak seluas saat ini. Adanya pemikiran turun-temurun mengenai peran lelaki sebagai pelindung perempuan memang masih dijunjung tinggi bahkan hingga sekarang ini.

Akhirnya Snow White and The
Huntsman berhasil memuaskan kami bahkan lebih puas dari sekedar melihat
saldo rekening yang numpang lewat setiap
tanggal 25 datang menjelang.
We heart you K-Stew