Bertukar peranan tentunya menjanjikan sejuta kesan yang mungkin dahlu hanya melintas singkat di benak pikiran saya.
Dahulu,,, ketika saya sudah mulai mengerti indahnya menyaksikan gerak-gerik serta warna-warni yang menghiasi televisi, mama saya kemudian mengenalkan rangkaian karya audio visual yang tersaji di layar yang lebih lebar lagi yang selanjutnya menjadi esensi penting dalam masa pertumbuhan saya.
Saya tidak terlalu ingat film pertama yang saya tonton dan meskipun saat itu tergolong penonton anak bawang yang kadang tak sampai habis membaca teksnya, saya telah mengerti bagaimana cara terbaik untuk menikmati film yang saya tonton. Semenjak itu, menonton ke bioskop menjadi agenda rutin pengisi liburan dan akhir pekan.
Saat itu, dan kini lebih tepat disebut dulu, saya adalah penonton. Menjadi penonton yang hanya tahu judul film yang saya tonton dan siap menerima ragam kesan dari apa yang saya lihat. Berawal dari kesan kita mampu menggali pesan yang ingin disampaikan dan bahkan dari kesan itupun kita tidak jarang mampu mengkritik sebuah karya tanpa mempedulikan betapa beratnya jerih payah mereka di balik itu semua.
Beberapa hari yang lalu, sebelum waktu menggeser tanggal 5 menjadi 6, akhirnya saya menyaksikan sebuah karya yang sudah lama saya nantikan. Film Surat Kecil untuk Tuhan. Film ini adalah anggota baru di ranah perfilman nusantara dan Sineas dibalik film yang diangkat dari kisah nyata ini adalah kakak saya sendiri. Akhirnya tanpa diminta ataupun meminta saya turut tercebur di dalam segala-galanya mulai dari persiapan, pembuatan, hingga prosesi penyambutannya. Meski keterlibatan saya ini hanya sekedar bertukar pikiran & angan-angan, Sudah pasti… kini kondisi psikis saya ketika menikmati film ini tidaklah murni sama dengan masa ketika saya menjabat sebagai penonton saja.
Ada sebersit rasa keliru ketika mendapati diri tercebur terlampau dalam di film ini. Tetapi setelah dipikir ulang, hal itu tidak dapat dihindari mengingat kedekatan kami yang sedarah dan juga tinggal serumah ditambah kami memang memiliki hibungan keluarga yang erat. Otomatis peranan menjadi 'semi-penonton' ini harus disandang.
Ketika menjabat sebagai penonton saja,itu jauh lebih mudah. Menonton kemudian pulang membawa kesan yang sangat personal lalu kemudian terkenang bila memang patut untuk dikenang. Sementara itu, sekarang, ketika pulang setelah menonton, kesan personal justru menjadi tak tenang untuk dikenang. Melihat aksi reaksi sekitar, komentar dari lingkar luar produk kreatif ini mulai membuat hati resah dan gelisah. Apalagi Saya tergolong anggota yang paling terakhir menikmati apa yang kita sebut “karya bersama“ ini.
Ulasan-ulasan yang mengendap tentu tidak selalu sesuai dengan apa yang kami harap. Ada yang memuja sampai berkata bahwa sang sutradara adalah mahluk setengah dewa yang mampu memerdekakan penonton dengan cara yang sederhana. Adapula yang mengantar hinaan yang bahkan seandainya diucapkan akan memekakkan telinga pendengarnya.
Sejenak, hati sempat melemah karena resah. Tak dapat dipungkiri, yang tercela selalu lebih unggul mencetak mind-blocking di pikiran saya (dan mungkin juga orang-orang lain yang belum menonton film ini). Saya sempat tercekat mengingat pilihan kata-kata yang diurai hanya untuk meletakkan karya dan orang-orang di dalamnya itu kedalam dimensi yang letaknya sangat jauh dari adab kebanggaan.
Saya akui tidaklah mudah menjadi pribadi yang pasrah dengan deraan berupa cacian. Belum lagi ragam kesulitan yang tersaji hingga detik peluncuran film ini. Seandainya mereka tahu, tidak hanya peluh lelah, gelisah dan airmata turut mengiringi rintangan yang menguji. Lagi-lagi saya terluka disaat asa kian ternoda. Tetapi lagi-lagi dengan segenap hati saya meyakini bahwa semua kesulitan pasti datang dengan tujuan. Saya mencoba menyerahkannya kepada yang paling Berkuasa di dunia ini karena saya yakin setelah kesulitan pasti akan ada kemudahan.
Alhamdulillah, meskipun sebagian mencela tanpa sisa, paling tidak kami kini dapat tersenyum bangga menyaksikan mereka yang bahagia menikmati karya yang sudah kami ciptakan dengan segenap rasa cinta dan pengorbanan tanpa pamrih. Sebagian besar sasaran penikmat film ini memberikan pujian dan mampu membawa semangat yang dititipkan di dalam film Surat Kecil Untuk Tuhan.
Seperti yang saya katakan sebelumnya, pertukaran peran dari penonton saja menjadi 'semi penonton' ini kemudian mengharamkan saya mereview film Surat Kecil untuk Tuhan dari sisi diri sendiri, karena tanpa perlu berlama-lama kalian juga sudah tau apa tanggapan saya.
kini tidak berlebihan bila kami berikan persembahan dari hati ini memang untukmu wahai sahabatku :)