Belakangan ini kosakata
sehari-hari di dunia pergaulan bertambah, salah satunya ya kepo. Jujur saya
penasaran kenapa kata kepo ini
menjadi semakin fenomenal setiap harinya. Ditambah lagi, kepo sudah masuk ke dalam kebiasaan baru untuk sebagian besar orang saat ini.Meskipun
saya tidak terlalu paham arti kata kepo
secara harfiah serta latar belakang
sejarahnya, tetapi saya paham dengan makna terselubung di dalamnya. Bahkan saya pun tidak akan mengelak jika saya
juga mendapat gelar si kepo karena memiliki kecenderungan yang selalu
ingin tahu. Apapun itu.
Rupanya kata kepo konon
menurut http://kitabgaul.com/word/kepo berasal dari bahasa hokkian. Terdiri dari dua
kata yang digabungkan, ke artinya bertanya
dan po adalah sebutan untuk seorang
nenek tua. Kepo bila diartikan secara
harfiah adalah kebiasan banyak bertanya seperti halnya seorang nenek (mungkin).
Lucunya lagi ada yang mengatakan bahwa kepo
itu adalah singkatan dari Knowing Every
Particular Object. Saya setuju dengan singkatan ini, karena jika sedang “mengupas”
terkadang suka lupa waktu terutama ketika sedang ‘ngepoin” mereka-mereka yang sedang beraksi memenangkan hati saya.
Jauh sebelum kata kepo menjadi sangat populer, saya memang
sudah terlahir sebagai anak yang selalu dilanda rasa haus keingin tahuan. Ingin
tahu segala sesuatu, satu per satu. Mulai dari urusan pribadi hingga kehidupan
penguin di Antartika bagi saya penting untuk diketahui. Bukan hanya sekedar
tahu, tapi harus tahu seluk-beluknya sampai
detil. Akhirnya jadilah saya korban dari “dahaga” diri saya sendiri. Mata minus
dan hidung beringus adalah sebagian dari efek samping akibat begadang karena pikiran yang penuh pertanyaan hingga memotivasi saya
untuk terus mendeteksi sisi per sisi dari informasi yang saya peroleh.
Sekilas aksi ‘gerilya”
ini tampak seperti tugas seorang detektif. Menggali-gali mencari kunci-kunci masalah
dan dasar untuk menyusun strategi agar tidak dikelabuhi para musuh. Hal ini
terjadi juga sejak saya remaja, ketika ada lekaki yang mendekati, aksi “
bergerilya” ini pun segera masuk dalam strategi. meskipun dulu era digital
belum “berjaya” seperti saat ini, saya tetap berangkat dengan penuh teliti dan
hati-hati menyeleksi orang-orang yang mendekati. Tak perlu lagi penjelasan
panjang mengenai kemudahan proses seleksi pribadi –pribadi itu di era kini.
Bayangkan saja apabila
dulu perlu waktu sekitar dua minggu untuk mengungkap fakta, sekarang 60 menit
saja sudah kelebihan waktu untuk “memuaskan dahaga” penasaran saya. Beruntung salah
satu teman terbaik juga memiliki “kemahiran” yang serupa. Akhirnya ‘ilmu’ ini
pun semakin lengkap setiap bertukar pikiran dengannya. Tehnik-tehnik kepo saya makin solid dan tentunya
informasi semakin padat berisi dari segala sisi.
Sekarang saya mengerti,
kini rupanya tidak hanya saya dan teman saya yang hobi bergeriliya mencari informasi yang selanjutnya aksi ini disebut ‘dengan
istilah “kepo”. Tak ada salahnya menjadi kepo
asalkan tetap beraliran energi positif. Jangan menjadi resah apalagi sampai
ikut membocorkan aib orang yang bukan tidak mungkin kita dapatkan after kepo-ing . Jadikan informasi sebagai senjata sebelum berperang, tapi ingat,
bila ingin menyelamatkan diri sendiri bukan berarti kita harus membunuh
identitas orang-orang yang lain. Pendeknya,
kepo itu sah-sah aja asalkan tidak
berlebihan jika kamu tidak mau jiwamu tergoncang dan tubuh meriang. jangan lupa, “ less is more”.