Kemang, 12 Juni
2011
Secawan soto
khas ibukota sontak mengantarkan saya pada barisan memori indah yang terjadi di
awal bulan Januari. Soto bersantan yang berisi jeroan sapi itu berhasil menggetarkan
hati setiap kali melihat nama menu tersebut di mana-mana. Sejujurnya saya bukanlah
penggemar masakan berkuah ini, tetapi soto betawi akhirnya sempat menjadi menu
santap siang saya beberapa kali. Hal itu semua berawal dari seseorang yang saya
kenal di awal tahun ini. Dia mencintai soto betawi seperti halnya saya
mencintai nasi Biryani.
Tidak ada yang
menarik sebenarnya dari secawan soto betawi yang kini rutin saya nikmati. Hanya
saja saya senang mengalami sensasi yang menjalari hati seketika mengamati cawan
bersantan di depan mata saya. Bukan sekedar rasa lezat yang ditawarkan, tetapi
letupan-letupan mimpi dan harapan yang pernah saya jalin mampu membuat saya
tersipu malu seorang diri. Persis
seperti sedang jatuh cinta.
Cukup lama saya
tergelincir dalam perasaan syahdu. Tak sebentar saya mencoba menafsirkan rasa
yang meraba hati dan pikiran saya selama beberapa bulan saat dirinya tidak
kalah rajin menyapa saya dengan bantuan beberapa aplikasi yang ada di perangkat
pandai kami masing-masing. Namum seiring bulan bergulir, semakin jarang dia
bertandang. Seketika itu pula harapan dan mimpi-mimpi mulai meredup sembari
meyakini bahwa rencana tuhan selalu lebih baik dari mimpi saya pribadi.
Entah mengapa, beberapa
waktu lalu rasa ingin menikmati secawan soto betawi muncul kembali. Tidak
disangka, cawan bersantan kesukaannya masih tetap memberikan sensasi yang
serupa. Seolah memiliki konektivitas yang otomatis, sensasinya tetap membawa
saya pada cerita-cerita lama yang indah bersama dia. Seolah saya tengah berada
di ruang dan waktu yang mana dia selalu menemani saya bercanda tawa hingga
senja menyapa ibukota. Suapan terakhir pun turut membawa memori biru ketika dia
harus kembali meninggalkan tanah air dan tentunya membiarkan saya tetap di sini
dengan segenap mimpi-mimpi baru yang rupanya tak kunjung menyatu ke alam nyata.
Sambil menikmati
jalanan kota, Saya tetap bertanya-tanya mengapa saya mendambakan soto betawi di
siang tadi sampai akhirnya sesuatu menyadarkan saya bahwa hari ini adalah hari
ulangtahunnya. Tiba-tiba saya teringat ucapan teman saya “ ketika kita memikirkan seseorang , dia pun pasti tengah memikirkan
kita ibarat frekuensi radio, kita dan yang kita pikirkan sebenarnya berada
dalam frekuensi yang sama” dan saya pun mulai malu-malu dan mungkin pipi
saya kini sudah merona merah muda.